Mengulik Cerita dari Gunung Bendera Padalarang
GUNUNG BENDERA
Gunung
Bendera adalah salah satu gunung yang berlokasi di daerah kabupaten Bandung
Barat, tepatnya di daerah Padalarang. Gunung bendera jika dilihat di treck log
bernama gunung Pancalikan, namun nama Bendera lebih familiar di kalangan masyarakat
sekitar. Gunung ini punya trek yang khas dan punya cerita tersendiri. Hal
inilah yang membuat saya penasaran dan tertarik untuk menjelajah dan mengulik
sejarahnya.
Rabu,
17 Agustus 2016, saya dan tiga teman saya (Dadan, Kang Suga, dan Kang Suzud) berangkat
ke padalarang bersama. Hari libur kemerdekaan ini, kami isi dengan menjelajah
salah satu gunung yang bernama gunung Bendera. Nama yang unik dari sebuah
gunung. Bendera kalau dilihat dari pengertiannya adalah sepotong kain yang
biasanya dikibarkan di tiang, umumnya dikibarkan sebagai simbol identitas. Ada
makna apa dari penyebutan gunung Bendera oleh masyarakat setempat? Sedangkan
kalau dilihat di trek log gunung bandung, nama gunung bendera yang tertera
adalah gunung Pancalikan. Untuk mengetahui asal muasal sejarahnya kami mencoba
menelusuri warga setempat yang tahu tentang sejarah gunung bendera tersebut.
Perjalanan
ke gunung Bendera kami tempuh dengan berjalan kaki. Titik awal perjalanan kami
mulai di daerah Perumahan Permata Padalarang Desa Mekar Jaya. Awalnya kami berempat
bawa kendaraan motor. Motor kami dititipkan di salah satu teman yang ada di
Perumahan tersebut. Dari perumahan tersebut kami memulai perjalanan tepatnya
pada pukul 08.20 WIB. Kami berjalan menyelusuri jalan setapak dan dipenuhi
semak belukar. Jalan setapak yang biasanya dilalui oleh para pekebun, para
tambang pasir dan beberapa warga yang biasa ngeburu burung liar.
Dalam
perjalanan menuju gunung Bendera ini, kami harus melalui beberapa gunung yaitu
gunung Bakung, gunung Puter, dan gunung Pasir Lampegan. Ketika melewati gunung
Bakung, kami menyusuri jalan setapak kalau di daerah sunda namanya “galengan”
dan beberapa kebun milik warga. Secara umum, kebun di sini lebih banyak kebun
jenis pepohonan seperti kebun singkong dan kebun jambu batu. Daerah disini
kering dan kurang pasokan air sehingga tidak cocok ditanami sayuran. Kami terus
berjalan menelusuri jalan setapak yang hampir hilang tertutupi rimbunya rumput
ilalang yang mulai menguning dan kering, menandakan kegersangan daerah
tersebut. Terik matahari mulai menyengat dan kamipun tak bisa menghindarinya karena jalan tersebut
tidak dirindangi oleh pohon-pohon. Entah kemana pohon-pohon yang seharusnya
tumbuh di daerah tersebut dengan lebat dan banyak.
Ditengah
perjalanan menuju gunung Puter, kami menemukan daerah tambang pasir ilegal.
Miris melihatnya, sebagian lahan gunung yang harusnya lebat dengan pepohonan
kini tinggal beberapa bagian saja yang masih tersisa, sebagiannya lagi digerus
tanahnya sampai membentuk gubangan pasir yang cukup dalam. Gubangan yang menjadi
sumber rezeki bagi para penambang pasir. Kami pun terus berjalan, dan jalan
yang dilalui tidak sedatar jalan raya. Jalan yang mulai menanjak, membuat napas
ngos-ngosan dan kaki harus tetap kuat melangkah sampai puncak. Terus berjalan
sampai di dataran yang lumayan tinggi dan merupakan puncak gunung Puter. Di
dataran ini kami temukan kursi sederhana yang terbuat dari bambu dan kursi ini bentuknya
memanjang kesamping. Dari kursi ini, kami bisa menikmati keindahan daerah
sekitar gunung, kami tertegun melihat indahnya gunung hawu, gunung Pabeasan, hamparan
rumah-rumah warga dan perumahan-perubahan baru yang letaknya sejajar dengan
gunung-gunung sekitar. Dari sini juga kami bisa melihat gunung tujuan utama,
yaitu puncak gunung Bendera.
Perjalanan
kami lanjutkan melewati gunung Pasir Lampegan, menelusuri lagi jalan setapak
bersemak dan nanjak. Kaki terus melangkah menelusuri jalanan tersebut hingga
kami bertemu dengan seorang pemburu burung liar yang sedang menjaga
jaring-jaring yang dibentangkan entah berapa meter panjangnya. Jaring-jaring
rajutan, yang cukup untuk menjaring burung kecil yang jadi buruan. Kami pun tak
luput menyapa dan mencoba menelusuri sejarah gunung-gunung yang ada disana. Namun
beliau kurang tahu dan memberi petunjuk pada kami untuk menanyakan sejarah
tersebut ke temannya yang berada diujung jalan. Kami pun berjalan menghampiri mereka
yang sedang duduk bersitirahat dibawah pepohonan di ujung jalan.
Bertemulah
kami dengan salah satu sumber informasi, beliau adalah ketua RT di daerah desa
Mekar Jaya. Kami gunakan kesempatan ini untuk mengorek informasi mengenai
sejarah gunung-gunung yang ada di sana. Beliau menuturkan, nama Bendara
sejarahnya dahulu kala beberapa rombongan pemuda pemudi bersama-sama
mengibarkan bendera di gunung ini untuk memperingati kemerdekaan Indonesia. Oleh
karena itu, gunung ini dinamai gunung Bendera, dan di area kemping terpasang
beberapa bendera di tiang bambu. Bendera sebagai simbol kemerdekaan Indonesia
dari penjajahan bangsa asing dan melambangkan simbol perjuangan para pahlawan
bangsa. Nah, untuk gunung puter, beliau menuturkan kata puter itu artinya muter.
Akses jalan gunung Puter itu muter dari ujung ke ujung, maka gunung ini
dinamakan gunung Puter. Begitulah, sedikit sejarah yang kami dapatkan dari
beliau mengenai gunung Bendera dan gunung Puter. Selanjutnya kami bergerak
kembali melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung Bendera.
Sesampainya
di area kemping gunung Bendera, kami dapati beberapa pendaki yang kemping dan
beberapa pengunjung yang datang hanya sekedar untuk jalan-jalan menikmati
keindahan panorama alam sekitar gunung bendera. Di area ini, terpasang beberapa
tiang bendera lengkap dengan bendera yang berkibar-kibar tertiup angin begitu gagahnya. Kamipun tak lupa
memberi hormat sebagai rasa syukur dan menghargai perjuangan para pahlawan
tanpa jasa yang dengan jasanya Indonesia bisa merdeka. Di area ini juga ada
saung bambu milik warga yang sengaja didirikan disana untuk tempat berteduh.
Selanjutnya kamipun melanjutkan perjalanan menuju puncak rindu gunung
benndera. Kami ambil jalur yang berbeda dengan jalur umum yang biasa dilalui
pengunjung. Kami puter haluan menuju arah gunung Halimun terlebih dahulu.
Gunung
Halimun letaknya sebelah gunung Bendera. Gunung yang agak berbeda dengan gunung
bendera, di gunung ini masih banyak pohon-pohon tua menjulang tinggi dan
berdiameter lebar, menandakan lamanya usia pohon tersebut. Pada umumnya di
daerah sekitar gunung ini banyak pohon jati, entah itu milik warga atau pohon
jati di sini sudah ada dari dahulu kala. Gunung ini masih asri dan rindang oleh
pohon-pohon, berbeda dengan gunung yang sebelumnya yang sudah gundul dan hanya
rimbun dengan semak belukar seperti padang savana.
Di
sekitar gunung Halimun terdapat beberapa saung kecil, dan di puncak terdapat
gubuk kecil yang disinggahi oleh salah satu warga yang bisa kita namakan
kuncen. Selain terdapat gubuk kecil juga terdapat makan tua, yang merupakan
makan syeh yang dahulu kala menyebarkan agama di daerah padalarang. Di gubuk
ini, kami berbincang dengan kuncen yang bernama bapak Ali dan ibu Ratu
Jubaedah. Beliau menuturkan bahwa beliau terpanggil untuk datang ke gubuk
tersebut untuk menjaga dan bertafakur alam di sana. Beliau menuturkan katanya
dahulu kala presiden RI pertama pernah singgah di gunung Halimun ini sebelum
menyatakan kemerdekaan RI di daerah Rengas Dengklok Karawang. Gunung Halimun
ini, dinamakan Halimun karena di gunung ini sering diselimuti halimun (kabut)
tebal sehingga cahaya matahari sukar menerangi gunung ini. Selain itu, dengan
kabut yang ada di gunung ini, membuat suasana adem dan tentram, cocok buat
istirahat. Setelah kami cukup mendapat informasi, maka kami lanjutkan perjalanan
dan tak lupa makan siang dan solat berjamaah di salah satu saung yang ada di
gunung Halimun.
Kami
melanjutkan perjalanan kepuncak gunung Bendera dari arah gunung halimun. Kami membuka jalur baru memasuki semak belukar yang tingginya setinggi badan kami. Kami masuk menerobos rimbunya semak belukar dan berjalan nanjak ke atas
dan di ujung semak belukar kami temui padang ilalang yang masih hijau dan
rimbun. Betapa takjubnya melihat keindahan disekitar padang ilalang tersebut.
Kami terus berjalan menuju puncak sampai akhirnya sampai ke puncak rindu,
gunung Bendera. Kata “Rindu” yang tertera di plang puncak gunung Bendera
mengartikan kerinduan untuk mencapai puncak utama dari sekian jauh dan
luka-likunya perjalanan yang kami tempuh. Kami istirahat sejenak dan tak lupa
untuk mengambil foto bersama.
Perjalanan
pulang kami tempuh kembali melalui jalur umum. Di perjalanan ini, kami lihat
sebagian rumput ilalang yang mengering sudah habis terbakar, dan kami pun
mendengar suara ilalang yang sedang dilahap si jago merah. Entah siapa yang
menyulutnya, tak ada yang mampu menjelaskan hanya suara rintihan ilalang yang
terbakar dan debu hitam yang mencoba memberitahu duka yang mereka alami. Entah
sampai kapan gunung-gunung kecil ini akan tetap ada, yang jelas sebagian
gunung-gunung di bawah sudah habis menjadi perumahan, tempat tambang pasir, dan
kebun-kebun warga.
Sembari
pulang, tak luput satu gunung lagi kami kunjungi yaitu gunung Tanjung. Trek
gunung ini mirip dengan gunung Pasir Lampegan dan lebih banyak melewati
kebun-kebun warga. Puncak gunung ini lebih sempit tapi pemandangan yang tersuguhkan luar biasa
indahnya, perumahan yang berjejer rapih, waduk saguling, jembatan waduk
saguling, bangunan-bangunan yang ada di kota, gunung-gunung tinggi berjejer
rapi mengeliling. Subhanalloh luar biasa indahnya, apalagi kalau malam hari
bisa lihat city light yang begitu mempesona.
Setelah puas menikmati keindahan
alam, kami melanjutkan kembali pulang melalui jalur perumahan Bentang Regency
Kampung Pojok Desa Gantungan. Jalur
pulang melalui perumahan dan tak luput disana-sini meriah dengan acara perayaan
kemerdekaan. Sebelum kembali ke Perumahan Permata, kami mencoba untuk
menjelajahi gunung Bentang, namun setelah bertanya pada salah satu satpam
penjaga perumahan, gunung tersebut sudah berubah menjadi tempat tambang pasir
dan sudah tidak terlihat struktur gunungnya. Sungguh disayangkan satu gunung
sudah mulai rata, dan entahlah dengan nasib gunung-gunung yang lainnya. Dua
atau beberapa tahun kemudian apakah masih ada atau hanya sebuah dongeng saja???
Yang jelas kalau tidak ada yang memperjuangkan kelestariannya mungkin akan
rata semua menjadi kebun-kebun atau perumahan.
Begitulah
perjalanan menelusuri gunung Bendera, banyak pelajaran yang bisa diambil ilmu
dan hikmahnya. Terimakasih saya ucapkan kepada Dadan, kang Suga, dan kang Suzud
yang mau mengajak dan membimbing untuk observasi pendataan gunung Bandung. Dan
tak lupa, ucapan terimakasih juga untuk pak RT, pak Ali dan ibu ratu Jubaedah
atas informasi yang disampaikan. Mudah-mudahan jadi ilmu yang berkah. Aamiin,
YRA.
Komentar
Posting Komentar